Saturday, July 22, 2017

Dermawan

Sayup – sayup hembusan angin pagi menghantarkan aku untuk bangun pagi ini. Ya, pagi ini adalah pagi yang ku nanti. Pagi pertama ku di dua puluh tahun. Seketika aku teringat akan janji Ayah kepadaku. Aku beranjak dari tempat tidurku dan menemukan Ayah didapur. Seperti biasanya, Ayah menyiapkan sarapan untuk kami berdua semenjak Ibu tiada, Ayah bak memiliki peran ganda. Aku membuka percakapan dengan Ayah, dan mulai menagih janji Ayah. Ayah hampir saja menumpahkan kopi yang sedang ia minum, karena Ia nyaris saja lupa akan ulangtahun ku.
“Yaampun, anak Ayah sudah besar” ucap Ayah
“Jadi, kapan Ayah mau membelikan hadiah yang Ayah janjikan?” Tanya ku memastikan Ayah tidak lupa akan janjinya.
“Ah, ya, hari ini Ayah akan membelikannya.”
“Asyik! Terimakasih, Ayah.  Aku sayang Ayah”
Semburat jingga di langit sudah hampir berganti dengan gelap. Namun Ayah tak kunjung pulang. Ah, mungkin hanya faktor kemacetan. Pukul menunjukkan sebelas malam, Ayah baru menunjukkan batang hidungnya. Tanpa sadar, aku pun langsung menanyakan hadiah yang Ayah bicarakan pagi ini.
 “Ayah, hadiah buat aku mana?”
“Anu, nak, maaf Ayah tadi ada urusan mendadak dijalan. Jadi uangnya untuk membeli gadget terbaru kamu terpaksa Ayah pakai. Maafkan Ayah. Bulan depan Ayah menabung lagi, ya, nak?”
Mendengar hal tersebut, aku tak kuasa menahan amarah. Sudah bagus aku masih membukakan pintu untuk Ayah. Pikirku paada saat itu. Seketika, aku berlari ke kamar dan mengunci diri didalamnya.
Aku tau Ayah hanyalah seorang guru honorer yang gaji nya tak menentu. Tapi, untuk hadiah seorang putri kecil satu-satunya saja Ayah bahkan tidak repot-repot untuk membelikannya?
Ayah memang kerap kali mengecewakanku, hampir hampir ku tak punya teman karena aku lah yang amat sangat ketinggalan zaman dibandingkan teman-teman ku yang lain.
Sampai pada suatu hari kudapati Ayah sudah tidak bisa berbicara kepadaku, terbujur kaku tak bernyawa. Rasanya ingin aku merutuki diriku seumur hidupku. Ayah, satu-satunya orang yang aku punya, kini telah tiada.
Entah, aku amat bingung apa yang harus kulakukan sekarang. Aku harus melakukan apa saja demi menghidupi diriku sendiri.
Lima tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan kesendirianku ini. Ya, aku benar-benar sendiri. Persetan dengan pertemanan, semuanya hancur hilang begitu saja semenjak aku menjadi yatim piatu. Namun tak apa lah.
Suatu hari, di sore yang damai, aku memutuskan untuk berdiam diri dirumah untuk melepas penat. Aku butuh istirahat. Tak lama kemudian, seseorang didepan halaman rumahku memencet bell. Aku tidak tau pasti siapa, namun aku membukakan pintu rumah ku untuknya.
Kudapati seorang laki-laki tampan dengan seorang ibu paruh baya yang sepertinya adalah ibu dari laki-laki ini. Mereka menanyakan soal Ayahku. Ku persilakan masuk kedua orang tersebut.
“Maaf kami merepotkan sekali datang sore-sore begini. Tapi apakah benar ini rumah beliau, nak?” Tanya sang ibu
“Ah, iya, almarhum adalah ayah saya sendiri. Sebetulnya, ada urusan apa ya dengan almarhum Ayah saya?” tanyaku penasaran.
“Jadi, lima tahun lalu, kami bertemu beliau disuatu toko handphone di dekat pasar, kami saat itu sedang pailit. Dan kondisi ibu saya sangat mengkhawatirkan, sehingga kami berharap ada yang mau membantu kami. Dan kami bertemu Ayah anda. Dan beliau berkata untuk memakai uang yang dia punya untuk berobat Ibu saya pada waktu itu.” Jelas si pemuda itu
“Kami kemari untuk membalas budi atas kebaikan beliau pada waktu itu, jadi, terimalah.” Ujar sang Ibu

Seketika jantungku terasa berhenti berdenyut. Ayah yang dahulu aku caci karena tak mampu membelikanku sebuah barang, namun kini berkat kedermawanan nya, aku mendapatkan hadiah lebih dari yang aku butuhkan. Bodohnya aku ini.