Sayup – sayup hembusan angin pagi menghantarkan aku untuk
bangun pagi ini. Ya, pagi ini adalah pagi yang ku nanti. Pagi pertama ku di dua
puluh tahun. Seketika aku teringat akan janji Ayah kepadaku. Aku beranjak dari
tempat tidurku dan menemukan Ayah didapur. Seperti biasanya, Ayah menyiapkan
sarapan untuk kami berdua semenjak Ibu tiada, Ayah bak memiliki peran ganda.
Aku membuka percakapan dengan Ayah, dan mulai menagih janji Ayah. Ayah hampir
saja menumpahkan kopi yang sedang ia minum, karena Ia nyaris saja lupa akan
ulangtahun ku.
“Yaampun, anak Ayah sudah besar” ucap Ayah
“Jadi, kapan Ayah mau membelikan hadiah yang Ayah janjikan?”
Tanya ku memastikan Ayah tidak lupa akan janjinya.
“Ah, ya, hari ini Ayah akan membelikannya.”
“Asyik! Terimakasih, Ayah.
Aku sayang Ayah”
Semburat jingga di langit sudah hampir berganti dengan
gelap. Namun Ayah tak kunjung pulang. Ah, mungkin hanya faktor kemacetan. Pukul
menunjukkan sebelas malam, Ayah baru menunjukkan batang hidungnya. Tanpa sadar,
aku pun langsung menanyakan hadiah yang Ayah bicarakan pagi ini.
“Ayah, hadiah buat
aku mana?”
“Anu, nak, maaf Ayah tadi ada urusan mendadak dijalan. Jadi
uangnya untuk membeli gadget terbaru kamu terpaksa Ayah pakai. Maafkan Ayah.
Bulan depan Ayah menabung lagi, ya, nak?”
Mendengar hal tersebut, aku tak kuasa menahan amarah. Sudah
bagus aku masih membukakan pintu untuk Ayah. Pikirku paada saat itu. Seketika,
aku berlari ke kamar dan mengunci diri didalamnya.
Aku tau Ayah hanyalah seorang guru honorer yang gaji nya tak
menentu. Tapi, untuk hadiah seorang putri kecil satu-satunya saja Ayah bahkan
tidak repot-repot untuk membelikannya?
Ayah memang kerap kali mengecewakanku, hampir hampir ku tak
punya teman karena aku lah yang amat sangat ketinggalan zaman dibandingkan
teman-teman ku yang lain.
Sampai pada suatu hari kudapati Ayah sudah tidak bisa
berbicara kepadaku, terbujur kaku tak bernyawa. Rasanya ingin aku merutuki
diriku seumur hidupku. Ayah, satu-satunya orang yang aku punya, kini telah
tiada.
Entah, aku amat bingung apa yang harus kulakukan sekarang.
Aku harus melakukan apa saja demi menghidupi diriku sendiri.
Lima tahun berlalu, aku mulai terbiasa dengan kesendirianku
ini. Ya, aku benar-benar sendiri. Persetan dengan pertemanan, semuanya hancur
hilang begitu saja semenjak aku menjadi yatim piatu. Namun tak apa lah.
Suatu hari, di sore yang damai, aku memutuskan untuk berdiam
diri dirumah untuk melepas penat. Aku butuh istirahat. Tak lama kemudian,
seseorang didepan halaman rumahku memencet bell. Aku tidak tau pasti siapa, namun
aku membukakan pintu rumah ku untuknya.
Kudapati seorang laki-laki tampan dengan seorang ibu paruh
baya yang sepertinya adalah ibu dari laki-laki ini. Mereka menanyakan soal
Ayahku. Ku persilakan masuk kedua orang tersebut.
“Maaf kami merepotkan sekali datang sore-sore begini. Tapi
apakah benar ini rumah beliau, nak?” Tanya sang ibu
“Ah, iya, almarhum adalah ayah saya sendiri. Sebetulnya, ada
urusan apa ya dengan almarhum Ayah saya?” tanyaku penasaran.
“Jadi, lima tahun lalu, kami bertemu beliau disuatu toko
handphone di dekat pasar, kami saat itu sedang pailit. Dan kondisi ibu saya
sangat mengkhawatirkan, sehingga kami berharap ada yang mau membantu kami. Dan
kami bertemu Ayah anda. Dan beliau berkata untuk memakai uang yang dia punya
untuk berobat Ibu saya pada waktu itu.” Jelas si pemuda itu
“Kami kemari untuk membalas budi atas kebaikan beliau pada
waktu itu, jadi, terimalah.” Ujar sang Ibu
Seketika jantungku terasa berhenti berdenyut. Ayah yang
dahulu aku caci karena tak mampu membelikanku sebuah barang, namun kini berkat
kedermawanan nya, aku mendapatkan hadiah lebih dari yang aku butuhkan. Bodohnya
aku ini.
No comments:
Post a Comment